Salah Kaprah Menyubsidi Taman Bacaan
Oleh AN Ismanto
Rencana terbaru pemerintah untuk meningkatkan literasi masyarakat sangat menarik untuk disikapi. Pemerintah bermaksud memberdayakan taman bacaan dengan cara memberikan subsidi, menata distribusi penyediaan buku dan pembaruan koleksi di taman bacaan. Pemerintah tampak begitu "bersemangat" karena menempatkan peningkatan budaya baca sebagai prioritas utama, terutama untuk pendidikan nonformal.
Hal itu terlihat dari peningkatan anggaran dalam beberapa tahun belakangan. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas Ace Suryadi, tahun 2005 anggaran peningkatan budaya baca untuk pendidikan nonformal Rp 8,5 miliar. Angka itu meningkat pada 2006 menjadi Rp 40 miliar dan 2007 meningkat hingga Rp 90 miliar. Anggaran itu 60 persen berupa block grant yang akan disalurkan ke pemerintah daerah lewat pemerintah provinsi dan berdasarkan proposal. Untuk tahun 2007 ini, setidaknya sudah ada 6.000 taman bacaan yang bergabung dengan jejaring Depdiknas.
Selintas, peningkatan anggaran itu terlihat meyakinkan. Dalam logika pemerintah, taman bacaan selama ini sekadar menjadi tempat meminjam dan menumpuk buku. Rencana terbaru pemerintah itu akan mengubah kondisi taman bacaan sehingga menjadi tempat
yang hidup dan digemari masyarakat.
Namun, betapa ganjilnya logika itu. Apakah pemerintah tidak pernah melakukan studi lapangan sebelum menetapkan rencana sepenting itu?
Tampaknya memang tidak. Pemerintah rupanya tidak melihat bahwa taman bacaan selama ini sudah menjadi "tempat yang hidup dan digemari masyarakat". Pemerintah tidak melihat bahwa taman bacaan hampir-hampir telah menjadi lanskap wajib di kompleks
permukiman urban, terutama di area yang dihuni banyak penduduk usia muda. Pemerintah tidak melihat kenyataan betapa seringnya anak-anak dan remaja usia sekolah menengah dan mahasiswa masuk-keluar taman-taman bacaan.
Rencana terbaru pemerintah itu hanya akan menjadi rencana yang salah sasaran karena dua alasan. Pertama, taman-taman bacaan yang akan disubsidi, terang-terang telah mencapai kondisi yang diinginkan pemerintah, yaitu menjadi "tempat yang hidup dan digemari masyarakat".
Kedua, pada jangka panjang, subsidi hanya akan membuat taman-taman bacaan sebagai entitas bisnis-ekonomi menjadi "manja", yang akan menurunkan efisiensi dan semangat berkompetisi.
Perbedaan Prinsip
Rencana terbaru pemerintah itu muncul karena pemerintah melupakan perbedaan yang prinsipil antara taman bacaan dan perpustakaan. Taman bacaan adalah sebuah entitas bisnis-ekonomi. Sebagai entitas bisnis-ekonomi, segala gerak-geriknya dikendalikan
oleh profit (profit-driven). Motivasi utamanya pencarian keuntungan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Ia hanya bertanggung jawab kepada
kapital, bukan kepada publik.
Maka, dengan rasionalitas ekonominya, masuk akal jika taman bacaan kemudian menerapkan strategi tertentu untuk memikat orang agar mau mengunjungi (dan "membeli" jasa penyewaan buku) taman bacaan yang profit-driven itu. Selintas, strategi itu tampak berhasil. Publik ternyata memilih melakukan hal yang konsumtif dan menguras saku ketimbang mengunjungi perpustakaan, yang sama-sama menyediakan bahan bacaan
tetapi tidak berniat menguras uang pengunjung (gratis). Tetapi, lihatlah kualitas dari kegiatan konsumtif itu.
Kita tidak bisa mengingkari bahwa banyak taman bacaan yang menyediakan buku-buku yang memang bermanfaat dalam pendidikan, tetapi kita juga tidak bisa mengingkari bahwa yang lebih banyak tersedia di taman-taman bacaan adalah bahan-bahan bacaan ringan
dan mengibur yang diniatkan sebagai pengisi waktu senggang, seperti komik (yang paling banyak adalah manga) dan fiksi ringan.
Tanpa bermaksud peyoratif, kita tahu sifat bahan-bahan bacaan ringan itu adalah melenakan dan mengajak orang sejenak beristirahat dari ketegangan pada waktu sibuk.
Pada tahap awal, kegemaran membaca memang bisa dimulai dari kegiatan membaca yang ringan-ringan, tetapi porsi bahan bacaan semacam ini jika terlalu banyak tentu
tidak baik, karena akan menjadi candu yang membuat orang lupa pada tugas-tugasnya. Hal ini sudah menunjukkan gejala dengan ramainya taman-taman bacaan.
Sedangkan perpustakaan, yang di negeri ini sebagian besar dikendalikan oleh negara, adalah sarana pelayanan publik yang merupakan bagian dari kewajiban negara kepada warganya. Motivasi utamanya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan
bahan-bahan bacaan yang diperlukan. Dengan demikian, perpustakaan adalah sebuah gerakan moral dan amanat, yang menuntut pertanggungjawaban kepada publik baik
secara legal-formal berdasarkan undang-undang maupun secara moral.
Kenapa pemerintah tidak mengalihkan energi dan sumber dayanya untuk melakukan kewajibannya dengan memberdayakan tempat yang sekarat dan kalah ramai dari taman bacaan itu?
Entah apa tujuan sebenarnya dari rencana salah sasaran itu. Yang jelas, rencana itu hanya menunjukkan bahwa pemerintah telah melupakan perpustakaan dan prinsip-prinsip yang membedakan perpustakaan dari taman bacaan. Entah disengaja atau tidak, dengan
rencana itu pemerintah tampak seperti sedang melarikan diri dari tanggung jawabannya kepada publik.
Alangkah lebih baiknya jika dana yang dianggarkan pemerintah dialokasikan untuk memberdayakan perpustakaan yang selama ini dimatikan oleh rutinitas, formalitas, dan state of being yang tidak mampu memikat pengunjung. Selain untuk reformasi budaya
perpustakaan seperti diimpikan oleh Zen Rachmat Sugito dalam "Andaikata Saya Kepala Perpustakaan" dalam rubrik ini (JP, 8/7/2007), dana yang direncanakan itu tentu akan sangat bermanfaat dalam reformasi organisasional dan pelayanan publik di perpustakaan.
* Dimuat di Harian Jawa Pos Edisi 29 Juli 2007
Friday, September 7, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment