Dilema Hukum Taman Bacaan
Oleh RONALD H. SIANTURI
WAKTU jam istirahat pada sekolah dasar negeri, seorang murid dikelilingi Teman-temannya. Kepada teman-temannya dengan bangganya dia bercerita tentang komik terbarunya. Teman-temannya mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian sambil sesekali bertanya untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka terhadap komik tersebut. Beberapa saat kemudian, ia kembali bercerita mengenai komik lainnya yang tentunya
belum dibaca temannya.
Di tempat lain, seorang mahasiswi rantau terlihat tenggelam pada kisah romantisme Khalil Gibran. Setelah puas dengan romantisme Gibran, dia kembali tenggelam dalam kisah Gunung Jiwa, sebuah novel autobiografis karya Gao Xingjian.
Beberapa pertanyaan menggelitik timbul dari kedua kejadian di atas. Apakah komik ataupun novel yang harganya sangat tinggi seperti saat ini masih dapat dijangkau oleh kantong murid sekolah dasar ataupun mahasiswa? Bila tidak, bagaimana mungkin mereka dapat menikmati kisah kisah tersebut?
Setelah diperhatikan, ternyata murid dan mahasiswa tersebut tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bacaan tersebut untuk menikmati kisah di dalamnya. Mereka cukup menyewa bacaan tersebut pada sebuah taman bacaan dengan mengeluarkan biaya sewa yang tentunya jauh lebih murah daripada membeli bacaan tersebut.
Murid sekolah dasar dan mahasiswi di atas adalah gambaran dari sebagian warga Bandung yang masih memiliki minat baca yang besar, tetapi mereka dihadapkan pada tingginya harga buku. Karena tidak dapat menjangkau harga buku, maka penyewaan buku pada
taman bacaan adalah salah satu cara untuk memuaskan hasrat baca mereka. Kondisi ini disadari oleh pebisnis di Bandung, yang kemudian beramai-ramai membangun taman bacaan pada hampir setiap sudut keramaian di Kota Bandung.
Menjamurnya taman bacaan di Kota Bandung belakangan ini merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan. taman bacaan ini pada umumnya menyewakan berbagai bacaan seperti komik, novel, majalah berkala,untuk dibaca masyarakat umum. Sebagian taman bacaan menyediakan tempat khusus pada lingkungan taman bacaan untuk membaca bacaan tersebut, sedangkan taman bacaan lainnya tidak menyediakan tempat khusus (sehingga
bacaan tersebut dibaca di tempat lain di luar taman bacaan). Pada umumnya taman bacaan mengenakan biaya sewa sebesar 5% dari banderol harga buku untuk buku yang dibaca di taman bacaan, dan 10% dari banderol harga buku untuk buku yang dibaca di luar taman bacaan.
Di satu sisi, menjamurnya taman bacaan ini akan menimbulkan berbagai dampak positif pada masyarakat sekitar taman bacaan, seperti: memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memiliki dana yang sangat terbatas (khususnya pelajar) untuk membaca bacaan yang
lebih banyak dengan biaya yang lebih murah, dan meningkatkan minat baca pada masyarakat sekitar. Disisi lainnya, apabila tidak dikelola dengan baik menjamurnya taman bacaan dapat menimbulkan berbagai pelanggaran tehadap peraturan perundangan di
Indonesia, seperti mengenai izin usaha, pajak penghasilan, dan hak cipta.
Isu hak cipta merupakan isu yang mendapat perhatian yang lebih baik secara internasional dan nasional. Secara internasonal, hak cipta merupakan masalah yang
serius untuk diperhatikan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra dan Seni dan ratifikasi Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights
Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs) yang merupakan salah satu lampiran pada naskah akhir Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariff and Trade) melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization).
Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia wajib memberikan perlindungan bagi karya cipta baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan perlindungan pada perjanjian internasional, termasuk karya sastra pada buku yang disewakan pada taman bacaan tersebut.
Secara nasional, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002) menempatkan buku sebagai salah satu bentuk ciptaan yang perlu mendapatkan perlindungan hak cipta pada Pasal 12 ayat (1) butir (a) UUHC 2002.
Dengan masuknya buku sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi oleh UUHC 2002, seluruh warga negara wajib menghormati hak moral dan hak ekonomi yang merupakan
bagian hak cipta pencipta (dalam hal ini pengarang buku) dari sebuah karya cipta buku. Yang dimaksud hak moral pencipta pada ciptaan buku adalah hak untuk menjaga integritas buku (baik cerita maupun gambar)dari setiap intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta (pengarang) buku, sedangkan hak ekonomis adalah hak yang dimiliki pencipta (pengarang)buku untuk menikmati keuntungan ekonomis dari setiap eksploitasi buku ciptaannya.
Melalui Pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, dapat diketahui definisi hak cipta yaitu hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa hak cipta merupakan hak yang bersifat eksklusif yang berarti tidak ada pihak lain yang boleh melakukan
pengumuman dan atau perbanyakan karya cipta tanpa izin pencipta, apalagi kegiatan tersebut bersifat komersil.
Pada awalnya, pengarang buku sebagai pencipta buku mempunyai hak eksklusif atas setiap bentuk eksploitasi buku karangannya. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 3
UUHC 2002, pengarang buku dapat mengalihkan sebagian ataupun seluruh hak untuk mengeksploitasi buku karangannya tersebut kepada pihak lain (selanjutnya disebut penerima hak), sehingga penerima hak dapat melakukan eksploitasi buku karangannya. Bentuk eksploitasi, jangka waktu dan ketentuan lain berkaitan eksploitasi buku oleh pihak penerima hak, terbatas pada kesepakatan antara pengarang dan penerima hak yang wajib dilakukan secara tertulis (baik dengan maupun akta notariil).
Penyewaan buku merupakan salah bentuk eksploitasi buku yang dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Hal ini karena pihak yang menyewakan buku (seperti
taman bacaan) memperoleh keuntungan ekonomis dari biaya sewa yang dikenakan pada setiap buku yang disewakan. Karena penyewaan buku merupakan salah satu bentuk eksploitasi buku yang bersifat komersial, setiap kegiatan penyewaan buku wajib memperoleh izin penyewaan dari pemegang hak penyewaan (rental right).
Selain itu, penyewaan buku merupakan salah satu bentuk pengumuman karya cipta yang diatur dalam Pasal 1 ayat(5) UUHC 2002 yang menyatakan "Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain". Hal ini
karena penyewaan buku merupakan tindakan yang mengedarkan ataupun menyebarkan suatu karya cipta (buku) sehingga karya cipta tersebut (buku) dapat dibaca oleh pihak lain. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)UUHC 2002, penyewaan buku harus memperoleh izin dari
pemegang hak penyewakan (rental right holders).
Kepada siapa taman bacaan harus meminta izin penyewaan buku? UUHC 2002 mewajibkan pemakai hak cipta (users)seperti taman bacaan meminta izin kepada pencipta ataupun pemegang hak cipta (yaitu pemegang hak penyewaan). Taman bacaan wajib meminta izin penyewaan kepada pengarang buku apabila pengarang belum mengalihkan hak penyewaan kepada pihak lain secara eksklusif. Apabila pengarang sudah mengalihkan hak penyewaan kepada pihak lain (penerima hak) secara eksklusif, maka users wajib meminta izin dari pihak penerima hak penyewaan tersebut.
Pihak pengelola taman bacaan pada umumnya tidak sadar (atau pura-pura tidak sadar) akan kondisi ini. Padahal, menurut UUHC 2002 pencipta ataupun pemegang hak menyewakan dapat menuntut taman bacaan yang menyewakan buku tanpa izin secara perdata untuk
mengganti kerugian sebesar kerugian yang dirasakan oleh pencipta ataupun pemegang hak penyewaan. Selain gugatan secara perdata, berdasarkan Pasal 72 ayat (1)UUHC 2002 pengelola taman bacaan juga dapat diancam secara pidana dengan ancaman pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penyewaan buku tanpa izin oleh taman bacaan ini akan membuat tingkat pelanggaran hak kekayaan intelektual di Indonesia semakin tinggi. Kondisi ini membuat Indonesia yang belum bisa lepas dari krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multi dimensi sejak 1998 semakin terpuruk. Pandangan negatif dunia internasional terhadap upaya pemerintah dalam penegakan hak atas kekayaan intelektual di Indonesia masih dianggap setengah hati. Hal ini dapat dilihat dari belum lepasnya Indonesia dari Priority Watch List oleh US Trade Representative (USTR). Akibatnya, Indonesia terancam akan tindakan balasan (retaliation) di bidang ekonomi yang dapat dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serikat yang mempergunakan Special 301 yang ada pada United Trade Act. Apabila tindakan pembalasan ini menjadi kenyataan, kondisi perekonomian di Indonesia akan jauh lebih terpuruk.
Oleh karena itu, pemerintah dan segenap bangsa Indonesia harus bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam memperbaiki perlindungan hak atas kekayaan intelektual di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menghormati hak penyewaan (rental right) buku. Bagi pengelola taman bacaan, diperlukan iktikad baik untuk meminta izin penyewaan dari pencipta ataupun pemegang hak penyewaan atas setiap buku yang akan disewakan.
Bagi pencipta dan pemegang hak penyewaan, sudah saatnya membentuk suatu organisasi profesi yang mengurus hak penyewaan (rental right) buku agar mekanisme pemberian izin penyewaan menjadi sederhana (seperti yang dilakukan YKCI dalam mengurus hak mengumumkan karya cipta lagu). Aktifnya penegak hukum,seperti polisi, dalam menindak pelanggar hak cipta seperti penyewaan buku tanpa izin juga memengaruhi tingkat pelanggaran hak cipta.
Bagi pemerintah, perlunya sosialisasi yang lebih aktif kepada masyarakat umum mengenai pentingnya perlindungan hak cipta. Bagi masyarakat umum, kesadaran untuk tidak mendukung pelanggaran hak cipta (misalnya tidak menyewa buku yang tidak memiliki izin penyewaan) adalah kunci dari perlindungan hak cipta yang merupakan bagian hak kekayaan intelektual di Indonesia.
Dengan kerja sama masing-masing pihak, perlindungan hak cipta di Indonesia tentunya akan lebih baik. Hal ini tentunya akan menambah minat bagi masyarakat umum untuk mencipta karya-karya sastra yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Semoga.***
Penulis, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran.
Tuesday, September 4, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment