Andai Saya Kepala Perpustakaan
Oleh Zen Rahmat Sugito
Seandainya saya Kepala Perpustakaan...
Saya ingin semua pengunjung tahu bahwa perpustakaan yang saya pimpin tak lebih dari gudang penyimpanan buku dan kertas-kertas tua yang apak. Saya ingin pengunjung sadar bahwa perpustakaan adalah surga.
Karena perpustakaan adalah surga, tak akan saya biarkan ada pustakawan yang memarahi pengunjung hanya karena dia menggunakan sandal jepit, hanya memakai kaos oblong, atau karena bajunya tak dimasukkan.
Ini sepertinya sepele. Tapi, dengan melayani pengunjung dengan ramah dan bersemangat, pustakawan bisa memainkan andil besar dalam upaya mencerdaskan bangsa ini lewat kerja-kerja kecil nan sepele namun bisa begitu berharga di sebuah negeri dengan minat baca masih kelas jongkok ini.
Seandainya saya Kepala Perpustakaan...
Saya akan menegaskan pada semua calon pustakawan bahwa pustakawan tidak sama dengan "karyawan perpustakaan". Pustakawan sama derajatnya dengan para ilmuwan, cendekiawan, dan orang-orang hebat yang menghabiskan waktunya dengan mencari kebijaksanaan.
Socrates pernah bilang: orang yang memiliki banyak pengetahuan akan mengerti bahwa masih banyak hal yang belum ia ketahui. Orang yang rendah hati macam itu biasanya tahu di mana ia bisa mendapatkan pengetahuan dan informasi yang belum ia kuasai dan ketahui.
Di titik itulah pustawakan hadir sebagai "orang yang paling berpengetahuan" atau dalam artikulasi yang rendah hati, pustakawan bisa dibilang sebagai orang yang paling berpotensi membantu mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan. Sebab, hanya pustakawan saja yang mengerti di rak buku mana, di lantai berapa, dan di katalog mana buku atau naskah yang sedang dicari para pemburu pengetahuan.
Mestikah diherankan jika jenius macam John Nash memilih menjadi pustakawan kampus sewaktu dinyatakan sudah sembuh dari penyakit schizoprenia. Dari perpustakaan tempatnya bekerja itulah ia bisa berdialog dengan mahasiswa cerdas dan bisa menggelar musyawarah sunyi dengan buku-buku yang melimpah. Dari sanalah ia meneruskan penemuan-
penemuannya hingga ditahbiskan sebagai peraih Nobel Ekonomi pada 1994.
Di negara yang otoriter atau baru sedang belajar berdemokrasi, pustakawan adalah salah satu punggawa kebebasan manusia dalam menemukan, memilah, dan memamah bacaan dan pengetahuan. Pustawakan bisa menjadi komprador ketika ikut-ikutan menyembunyikan bacaan dan pengetahuan yang dianggap subversif. Tetapi pustawakan juga bisa menjadi pahlawan. Saya ingat, perpustakaan dan para pustakawan Ignatius, Kota Baru, Jogjakarta, misalnya, adalah satu dari sedikit sekali perpustakaan yang tetap menyediakan bacaan-bacaan subversif yang melimpah pada masa Orde Baru. Haris Rusli Moty, mantan ketua PRD di awal-awal reformasi, pernah dengan penuh takzim berterima kasih kepada para pustakawan di sana yang tetap melayaninya dengan ramah dan tak menaruh curiga kendati ia berkali-kali meminta buku-buku Karl Marx yang pada masa Soeharto menjadi bacaan liar dan haram.
Peran sederhana itulah yang membuat pustawakan bisa berjalan dengan kepala tegak sebagai "penjaga kebebasan mencari pengetahuan dan informasi".
Seandainya saya menjadi Kepala Perpustakaan...
Saya akan men-training para calon pustawakan dengan cara menugasi mereka menguasai dan jika mampu menghafal judul-judul buku di salah satu ruangan yang sudah ditentukan. Mereka harus sesering mungkin berjalan di antara rak-rak buku sembari membaca judul-judul buku yang tercetak di punggung setiap buku.
Jika selama training mereka melakukan itu dengan konsisten dan bersemangat, mereka akan tahu dengan detail sebagian besar koleksi buku di ruangan tempat ia bekerja. Jika itu berlanjut terus, kita akan melihat pemandangan menyenangkan ketika ada pustakawan langsung menunjuk di rak mana persisnya sebuah buku yang ditanyakan pengunjung tanpa ia membuka katalog.
Dengan melakukan itu, saya ingin para pustakawan yang saya pimpin sadar bahwa buku-buku yang mereka rawat dan jaga setiap hari bukanlah benda mati seperti TV atau kuali.
Buku-buku adalah makhluk hidup yang akan bertumbuh dan berkecambah dalam kepala orang-orang yang membacanya. Dari orang-orang yang kepalanya dikecambahi bacaan itulah, buku-buku berikutnya akan dilahirkan. Buku adalah makhluk hidup karena setiap buku adalah pendahulu dari buku-buku yang akan ditulis kemudian.
Dengan melakukan itu, saya berharap bisa menanamkan kecintaan para pustakawan kepada buku. Jika ada pustakawan yang marah karena pengunjung melipat halaman buku seenaknya, kemarahan itu bukan digerakkan oleh logika "petugas penjaga", tetapi kemarahan itu digerakkan oleh rasa sedih seorang pecinta buku.
Jika sikap itu sudah muncul, jangan heran jika kelak ada pustawakan kita yang bisa menulis sehebat ini: Seorang pustakawan berkaca mata gelap bertanya kepadanya: Apakah yang Anda sedang cari? Hladik menjawab: Saya sedang mencari Tuhan.
Pustakawan itu menjawab: Tuhan itu ada pada salah satu dari beberapa kata di salah satu halaman buku yang berjumlah empat ratus ribu jilid (perpustakaan) Clementine. Saya sendiri sudah hampir buta semata-mata karena terus mencarinya.
Dia pun membuka kaca mata gelapnya, dan Hladik melihat mata pustakawan itu, yang telah lama mati.
Paragraf-paragraf itu ditulis Jorge Luis Borges, peraih Nobel Sastra 1986, dalam salah satu ceritanya berjudul "The Secret Miracle". Borges pada masa mudanya pernah menjadi pustawakan di Municipal Library dan pada usia dewasa ia menjadi Director of the National Library of Argentina.
Ketika matanya divonis terancam buta, ia disarankan menghentikan kegiatan membaca. Alih-alih menghentikan membaca, Borges malah memerbanyak bacaannya. Katanya, "Saya harus membaca sebanyak mungkin karena saya tak mau dikalahkan oleh kebutaan dalam perlombaan ini."
Borges adalah penulis hebat yang memulai karirnya dengan menjadi pustakawan.
Aih, semua yang saya tulis barusan sepertinya hanya mimpi dan igauan, persisnya mimpi seorang penjaga taman bacaan.
Sumber :
http://esaibuku. blogspot.com/2007/07/andai-saya-kepala-perpustakaan.html
Tuesday, September 11, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment