Tuesday, September 11, 2007

Andai Saya Kepala Perpustakaan

Andai Saya Kepala Perpustakaan
Oleh Zen Rahmat Sugito

Seandainya saya Kepala Perpustakaan...
Saya ingin semua pengunjung tahu bahwa perpustakaan yang saya pimpin tak lebih dari gudang penyimpanan buku dan kertas-kertas tua yang apak. Saya ingin pengunjung sadar bahwa perpustakaan adalah surga.

Karena perpustakaan adalah surga, tak akan saya biarkan ada pustakawan yang memarahi pengunjung hanya karena dia menggunakan sandal jepit, hanya memakai kaos oblong, atau karena bajunya tak dimasukkan.

Ini sepertinya sepele. Tapi, dengan melayani pengunjung dengan ramah dan bersemangat, pustakawan bisa memainkan andil besar dalam upaya mencerdaskan bangsa ini lewat kerja-kerja kecil nan sepele namun bisa begitu berharga di sebuah negeri dengan minat baca masih kelas jongkok ini.

Seandainya saya Kepala Perpustakaan...
Saya akan menegaskan pada semua calon pustakawan bahwa pustakawan tidak sama dengan "karyawan perpustakaan". Pustakawan sama derajatnya dengan para ilmuwan, cendekiawan, dan orang-orang hebat yang menghabiskan waktunya dengan mencari kebijaksanaan.

Socrates pernah bilang: orang yang memiliki banyak pengetahuan akan mengerti bahwa masih banyak hal yang belum ia ketahui. Orang yang rendah hati macam itu biasanya tahu di mana ia bisa mendapatkan pengetahuan dan informasi yang belum ia kuasai dan ketahui.

Di titik itulah pustawakan hadir sebagai "orang yang paling berpengetahuan" atau dalam artikulasi yang rendah hati, pustakawan bisa dibilang sebagai orang yang paling berpotensi membantu mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan. Sebab, hanya pustakawan saja yang mengerti di rak buku mana, di lantai berapa, dan di katalog mana buku atau naskah yang sedang dicari para pemburu pengetahuan.

Mestikah diherankan jika jenius macam John Nash memilih menjadi pustakawan kampus sewaktu dinyatakan sudah sembuh dari penyakit schizoprenia. Dari perpustakaan tempatnya bekerja itulah ia bisa berdialog dengan mahasiswa cerdas dan bisa menggelar musyawarah sunyi dengan buku-buku yang melimpah. Dari sanalah ia meneruskan penemuan-
penemuannya hingga ditahbiskan sebagai peraih Nobel Ekonomi pada 1994.

Di negara yang otoriter atau baru sedang belajar berdemokrasi, pustakawan adalah salah satu punggawa kebebasan manusia dalam menemukan, memilah, dan memamah bacaan dan pengetahuan. Pustawakan bisa menjadi komprador ketika ikut-ikutan menyembunyikan bacaan dan pengetahuan yang dianggap subversif. Tetapi pustawakan juga bisa menjadi pahlawan. Saya ingat, perpustakaan dan para pustakawan Ignatius, Kota Baru, Jogjakarta, misalnya, adalah satu dari sedikit sekali perpustakaan yang tetap menyediakan bacaan-bacaan subversif yang melimpah pada masa Orde Baru. Haris Rusli Moty, mantan ketua PRD di awal-awal reformasi, pernah dengan penuh takzim berterima kasih kepada para pustakawan di sana yang tetap melayaninya dengan ramah dan tak menaruh curiga kendati ia berkali-kali meminta buku-buku Karl Marx yang pada masa Soeharto menjadi bacaan liar dan haram.

Peran sederhana itulah yang membuat pustawakan bisa berjalan dengan kepala tegak sebagai "penjaga kebebasan mencari pengetahuan dan informasi".

Seandainya saya menjadi Kepala Perpustakaan...
Saya akan men-training para calon pustawakan dengan cara menugasi mereka menguasai dan jika mampu menghafal judul-judul buku di salah satu ruangan yang sudah ditentukan. Mereka harus sesering mungkin berjalan di antara rak-rak buku sembari membaca judul-judul buku yang tercetak di punggung setiap buku.

Jika selama training mereka melakukan itu dengan konsisten dan bersemangat, mereka akan tahu dengan detail sebagian besar koleksi buku di ruangan tempat ia bekerja. Jika itu berlanjut terus, kita akan melihat pemandangan menyenangkan ketika ada pustakawan langsung menunjuk di rak mana persisnya sebuah buku yang ditanyakan pengunjung tanpa ia membuka katalog.

Dengan melakukan itu, saya ingin para pustakawan yang saya pimpin sadar bahwa buku-buku yang mereka rawat dan jaga setiap hari bukanlah benda mati seperti TV atau kuali.

Buku-buku adalah makhluk hidup yang akan bertumbuh dan berkecambah dalam kepala orang-orang yang membacanya. Dari orang-orang yang kepalanya dikecambahi bacaan itulah, buku-buku berikutnya akan dilahirkan. Buku adalah makhluk hidup karena setiap buku adalah pendahulu dari buku-buku yang akan ditulis kemudian.

Dengan melakukan itu, saya berharap bisa menanamkan kecintaan para pustakawan kepada buku. Jika ada pustakawan yang marah karena pengunjung melipat halaman buku seenaknya, kemarahan itu bukan digerakkan oleh logika "petugas penjaga", tetapi kemarahan itu digerakkan oleh rasa sedih seorang pecinta buku.

Jika sikap itu sudah muncul, jangan heran jika kelak ada pustawakan kita yang bisa menulis sehebat ini: Seorang pustakawan berkaca mata gelap bertanya kepadanya: Apakah yang Anda sedang cari? Hladik menjawab: Saya sedang mencari Tuhan.

Pustakawan itu menjawab: Tuhan itu ada pada salah satu dari beberapa kata di salah satu halaman buku yang berjumlah empat ratus ribu jilid (perpustakaan) Clementine. Saya sendiri sudah hampir buta semata-mata karena terus mencarinya.

Dia pun membuka kaca mata gelapnya, dan Hladik melihat mata pustakawan itu, yang telah lama mati.

Paragraf-paragraf itu ditulis Jorge Luis Borges, peraih Nobel Sastra 1986, dalam salah satu ceritanya berjudul "The Secret Miracle". Borges pada masa mudanya pernah menjadi pustawakan di Municipal Library dan pada usia dewasa ia menjadi Director of the National Library of Argentina.

Ketika matanya divonis terancam buta, ia disarankan menghentikan kegiatan membaca. Alih-alih menghentikan membaca, Borges malah memerbanyak bacaannya. Katanya, "Saya harus membaca sebanyak mungkin karena saya tak mau dikalahkan oleh kebutaan dalam perlombaan ini."

Borges adalah penulis hebat yang memulai karirnya dengan menjadi pustakawan.
Aih, semua yang saya tulis barusan sepertinya hanya mimpi dan igauan, persisnya mimpi seorang penjaga taman bacaan.

Sumber :
http://esaibuku. blogspot.com/2007/07/andai-saya-kepala-perpustakaan.html

Friday, September 7, 2007

Novel Grafis "KEGAGALAN AMERIKA MELINDUNGI WARGANYA"

KEGAGALAN AMERIKA MELINDUNGI WARGANYA

Judul Asli : A Graphic Adaptation (2006)
Genre : Novel Grafis , Literal Illustration.
Penerbit : Pustaka Primatama
ISBN : 9-793-93016-0, 978-9-793-93016-9
Penerjemah : Andrea K Iskandar
Penyelia : Pandu Ganesa

Survei yang dilakukan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa di antara negara negara yang dianggap sebagai sahabat bangsa Amerika, seperti : Mesir dan Arab Saudi, hanya 15% dan 12% saja rakyat yang menyukai Amerika Serikat. Pada tahun 2003, pandangan negatif terhadap Amerika Serikat di antara orang orang muslim telah menyebar melampui Timur
Tengah. Sikap suka [atau mendukung] telah merosot dari 61% ke 15% saja diantara rakyat Indonesia, dan dari 71% ke 38% di kalangan orang orang muslim Nigeria.

Itulah sekelumit paragraf hasil survey yang dilakukan oleh Komisi Penyelidik Peristiwa September Sebelas dari Amerika Serikat, yang dibentuk oleh pemerintah Amerika sebagai badan independen dengan tugas melakukan analisis dan audit terhadap peristiwa "September Sebelas" yang tercatat dalam sejarah hitam bangsa Amerika dan
berperan penting dalam perubahan wajah Amerika Serikat kini.

Rekomendasi, analisis, hasil penyelidikan, audit dan kesimpulan dari Komisi September Sebelas tersebut telah diterbitkan dalam bentuk sebuah buku berjudul : "9/11 COMMISSION REPORT" dengan tebal sekitar 600 halaman [dari sekitar 2.5 juta halaman hasil penyelidikan] yang memuat detil peristiwa September Sebelas sejak mula perencanaan penyerangan dari para teroris, sedikit sejarah kelompok Osama bin
Laden sejak awal perjuangannya di Afghanistan, detil serangan, peristiwa paska September Sebelas dan lain lain. Tentu saja yang menarik bagi bangsa Amerika adalah untuk mengetahui apa yang salah pada sistem pertahanan dan keamanan negara mereka sehingga penyerangan seperti itu bisa tidak terdeteksi sejak dini. Kesimpulan
dari komisi inilah yang mereka ingin ketahui.

Tapi konon terlalu sulit untuk membaca buku laporan tersebut, terlalu banyak nama berbeda yang disebut sebut, terlalu banyak nama tempat ditulis, tanggal untuk diingat, kemudian nomer nomer dan hal hal detil lain yang sangat penting sehingga membuat bingung para khalayak pembaca. Atas dasar itulah kemudian dua artis senior dengan pengalaman lebih dari 50 tahun di dunia perkomikan Amerika , yaitu :
Sid Jacobson dan Ernie Colon mengadaptasi laporan Komisi September Sebelas itu ke dalam bentuk grafis , dengan memadatkan 600 halaman laporan menjadi 134 halaman bergambar.

Sama seperti di Indonesia, di Amerika juga publik awam secara luas tidak pernah menganggap komik sebagai satu bacaan serius; komik adalah bacaan untuk anak anak; sampai kemudian tersadar bahwa komik dapat berperan sebagai satu media penyederhana satu hal serius dengan kemampuan diakses yang lintas usia.

Seperti yang sudah kita ketahui, membaca novel grafis tidak sama dengan membaca buku text. Walau dalam hati membaca, tapi mata harus digunakan untuk menelusur panel gambar dan memerhatikan apa yang terjadi dalam panel gambar tersebut. Tentu saja ada beberapa kalimat yang harus di edit atau ditambahi dengan bantuan imajinasi. Misal
saja, tidak ditulis dalam versi buku asli mengenai percakapan antara penumpang atau percakapan [tanya jawab] di antara mereka ketika pesawat sedang dibajak, tapi karena ini adalah bentuk komik , maka bisa kita temukan berbagai kalimat tanya jawab dalam bentuk balon percakapan di antara semua karakter yang terlibat dalam semua panel.
Balon percakapan sebagai ciri khas komik, ternyata masih dirasa perlu untuk tetap dihadirkan oleh duet Jacobson dan Ernie ini.

Bentuk grafis ini juga mempunyai keunggulan penting dibandingkan membaca text. Ketika para pembaca buku text kesulitan untuk menggambarkan bagaimana dan apa yang terjadi pada pesawat- pesawat itu dalam ruang waktu paralel, Jacobson dan Ernie dengan mudah bisa mempergunakan "sequences panel" di halaman yang sama dengan teknik tutur grafis untuk menggambarkan keadaan di masing masing pesawat pada saat dan waktu yang bersamaan secara paralel. Hal yang sangat membantu para pembaca untuk memahami secara detil, apa yang sebenarnya terjadi pada masing masing pesawat pesawat itu, mengingat
pesawat pesawat itu mulai dibajak dalam waktu yang hampir bersamaan [hitungan menit]. Inilah salah satu keunggulan grafis yang dieksploitasi secara sempurna oleh Jacobson dan Ernie.

Jacobson dan Ernie mempergunakan secara maksimal lembar halaman komik yang lebih besar secara horisontal, dengan pewarnaan dan penunjuk waktu yang melekat pada tiap panel, untuk menggambarkan secara persis apa yang terjadi tiap menit di dalam pesawat tersebut hingga saat tabrakan. Di lain panel, dengan penunjuk jam yang sama, Jacobson juga menggambar dalam panel yang lain mengenai aktivitas para pejabat yang berwenang dan apa yang sedang dilakukan oleh orang orang di daratan, terutama para pekerja di sekitar World Trade Centre disekitar periode waktu yang sama dengan apa yang terjadi di angkasa. Bahkan dalam penunjuk waktu yang sama, kedua artis itu bisa menceritakan apa yang sedang dilakukan oleh Osama dan para pengikutnya di belahan dunia lain di menit menit sebelum tabrakan mengerikan tersebut terjadi.
Inilah keunggulan grafis.

Memang untuk lebih detil , lebih baik membaca saja versi buku asli laporan Komisi September Sebelas itu, walau laporan serius itu diadaptasi dalam bentuk media "anak-anak", para anggota Komisi Sebelas September nyatanya mendukung sekali apa yang dilakukan oleh Jacobson dan Ernie. Mungkin tidak tepat menggunakan istilah novel
grafis, karena ini bukanlah sebuah novel, juga sangat ngawur menganggap buku ini sebagai komik [karena komik konotasinya adalah lucu – dan tidak ada yang lucu di dalam buku ini] , akan lebih tepat apabila disebut dengan istilah baru "Literal Illustration". Sebuah Literal Illustration yang baik, sangat bertanggung jawab, dibuat demi kemaslahatan, agar warga Amerika [khususnya] bisa mengetahui berbagai
ketidakefisienan administrasi pemerintahan mereka [khususnya bidang pertahanan dan keamanan], lemahnya wewenang para pengambil keputusan, sikap dan sifat asal atasan senang, serta kelambanan para pengambil keputusan mengambil aksi dan bereaksi ketika peristiwa tabrakan itu terjadi.

Tapi yang lebih penting lagi adalah bahwa semua warga Amerika dapat kemudian membaca versi "mudah" dari laporan Komisi September Sebelas, agar mereka dapat membaca semua rekomendasi dan kesimpulan komisi ini , semata mata supaya peristiwa mengerikan itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Sadar akan ketidak mampuan sebagian besar rakyat Amerika untuk membaca laporan hasil kerja Komisi September Sebelas ini, juga sadar bahwa versi buku hasil laporan itu sangat rumit dan mungkin sulit dibaca, maka dengan versi grafis, diharapkan agar lebih banyak lagi masyarakat Amerika [dan dunia] yang terjangkau untuk memahami semua
peristiwa dan latar belakang kejadian September Sebelas, karena urusan terorisme adalah nyata urusan dunia.

Jacobson dan Ernie adalah tokoh komik senior di Amerika, terutama Jacobson adalah orang yang berada di belakang kesuksesan Harvey Comics yang juga sering menerbitkan komik komik non mainstream. Sadar akan pilihannya mengadaptasi sebuah buku non fiksi, mereka berdua memilih untuk menggambar dengan pilihan gaya clear line yang dibuat
realistis secara maksimal. Sebagai konsekuensi maka para karakter yang terlibat dalam buku ini harus digambar mirip dengan aslinya. Kesulitannya adalah banyak karakter karakter yang masih hidup, dan mereka harus menggambar mereka itu sesuai aslinya demi untuk menunjang efek realistis grafis mereka [ dalam salah satu wawancara, mereka mengaku bahwa Dick Cheney adalah salah satu karakter yang sulit digambar ]. Dalam hal ini, adaptasi grafis terhadap para karakter terkenal yang masih hidup boleh dibilang sangat baik. George Bush digambar dengan sangat baik dengan garis tarikan muka yang juga baik. Juga beberapa tokoh terkenal lainnya. Secara umum, memang tidak ada yang istimewa dari kualitas gambar mereka, mereka menggambar layaknya tipikal komik Eropa dan Amerika.

Buku ini digambar dengan pewarnaan cerah, menambah asyik pembacaan. Membaca halaman per halaman buku ini, tidak berbeda ketika kita sedang membaca sebuah komik ringan dengan para superhero beterbangan, atau para jagoan silat berloncatan.

[Sekilas seperti pengalaman tempo dulu membaca komik spionase petualangan Danny dan Katia terbitan Indira, khususnya ketika para teroris sedang berkeliaran melakukan aksi]

Halaman per halaman di gambar secara sederhana dengan text yang tidak begitu dominan, semua mengalir tanpa disadari bahwa sesungguhnya yang sedang kita baca ini adalah sebuah laporan maha penting dari sebuah komisi yang bertanggung jawab terhadap penyelidikan sebuah peristiwa kejahatan paling dahsyat di dataran Amerika sepanjang sejarahnya.

Bermula ketika Ernie –seperti halnya masyarakat Amerika lainnya- yang ingin membaca laporan hasil penyelidikan Komisi September Sebelas, merasa kesulitan dan bingung dengan ratusan detil, nama dan hal hal lainnya, maka terciptalah buku ini. Dalam sebuah sidang diskusi komik baru baru ini, seorang artis / illustrator Indonesia mengeluh mengenai kesulitan para illustrator dalam melakukan kompromi dengan
para penulis cerita ketika naskah mereka akan diadaptasi menjadi komik. Para illustrator itu mengeluh mengenai naskah yang ngotot untuk tetap diterjemahkan dalam bahasa grafis walau pun dirasa tidak mungkin. Dalam hal ini, terbukti para illustrator itu salah. Jacobson dan Ernie dalam buku ini membuktikan bahwa sebuah naskah sulit [ nonfiksi lagi ! ] dengan tema yang rumit selalu mempunyai kemungkinan
untuk divisualkan secara grafis. Bahkan mereka menunjukkan selalu ada sesuatu yang akan tidak mampu disampaikan oleh text [ text mempunyai keterbatasan ] dan apa yang sanggup dilakukan oleh bahasa visual.

Buku ini adalah pengejewantahan yang baik teknik bercerita yang dimaksud oleh tokoh komik Amerika Will Eisner dalam bukunya "Visual Story Telling Sequences".

Bagi mereka yang ingin mengetahui secara detil tentang versi resmi peristiwa 11 September [pra dan pasca] versi pemerintah Amerika, tapi tidak ingin menghabiskan waktu membaca ribuan halaman text, maka buku ini adalah pilihan terbaik.

Rieza Fitramuliawan
pembaca dan pengumpul komik
[bahan dari berbagai sumber di internet]

Salah Kaprah Menyubsidi Taman Bacaan

Salah Kaprah Menyubsidi Taman Bacaan
Oleh AN Ismanto

Rencana terbaru pemerintah untuk meningkatkan literasi masyarakat sangat menarik untuk disikapi. Pemerintah bermaksud memberdayakan taman bacaan dengan cara memberikan subsidi, menata distribusi penyediaan buku dan pembaruan koleksi di taman bacaan. Pemerintah tampak begitu "bersemangat" karena menempatkan peningkatan budaya baca sebagai prioritas utama, terutama untuk pendidikan nonformal.

Hal itu terlihat dari peningkatan anggaran dalam beberapa tahun belakangan. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas Ace Suryadi, tahun 2005 anggaran peningkatan budaya baca untuk pendidikan nonformal Rp 8,5 miliar. Angka itu meningkat pada 2006 menjadi Rp 40 miliar dan 2007 meningkat hingga Rp 90 miliar. Anggaran itu 60 persen berupa block grant yang akan disalurkan ke pemerintah daerah lewat pemerintah provinsi dan berdasarkan proposal. Untuk tahun 2007 ini, setidaknya sudah ada 6.000 taman bacaan yang bergabung dengan jejaring Depdiknas.

Selintas, peningkatan anggaran itu terlihat meyakinkan. Dalam logika pemerintah, taman bacaan selama ini sekadar menjadi tempat meminjam dan menumpuk buku. Rencana terbaru pemerintah itu akan mengubah kondisi taman bacaan sehingga menjadi tempat
yang hidup dan digemari masyarakat.

Namun, betapa ganjilnya logika itu. Apakah pemerintah tidak pernah melakukan studi lapangan sebelum menetapkan rencana sepenting itu?

Tampaknya memang tidak. Pemerintah rupanya tidak melihat bahwa taman bacaan selama ini sudah menjadi "tempat yang hidup dan digemari masyarakat". Pemerintah tidak melihat bahwa taman bacaan hampir-hampir telah menjadi lanskap wajib di kompleks
permukiman urban, terutama di area yang dihuni banyak penduduk usia muda. Pemerintah tidak melihat kenyataan betapa seringnya anak-anak dan remaja usia sekolah menengah dan mahasiswa masuk-keluar taman-taman bacaan.

Rencana terbaru pemerintah itu hanya akan menjadi rencana yang salah sasaran karena dua alasan. Pertama, taman-taman bacaan yang akan disubsidi, terang-terang telah mencapai kondisi yang diinginkan pemerintah, yaitu menjadi "tempat yang hidup dan digemari masyarakat".

Kedua, pada jangka panjang, subsidi hanya akan membuat taman-taman bacaan sebagai entitas bisnis-ekonomi menjadi "manja", yang akan menurunkan efisiensi dan semangat berkompetisi.

Perbedaan Prinsip

Rencana terbaru pemerintah itu muncul karena pemerintah melupakan perbedaan yang prinsipil antara taman bacaan dan perpustakaan. Taman bacaan adalah sebuah entitas bisnis-ekonomi. Sebagai entitas bisnis-ekonomi, segala gerak-geriknya dikendalikan
oleh profit (profit-driven). Motivasi utamanya pencarian keuntungan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sekecil-kecilnya. Ia hanya bertanggung jawab kepada
kapital, bukan kepada publik.

Maka, dengan rasionalitas ekonominya, masuk akal jika taman bacaan kemudian menerapkan strategi tertentu untuk memikat orang agar mau mengunjungi (dan "membeli" jasa penyewaan buku) taman bacaan yang profit-driven itu. Selintas, strategi itu tampak berhasil. Publik ternyata memilih melakukan hal yang konsumtif dan menguras saku ketimbang mengunjungi perpustakaan, yang sama-sama menyediakan bahan bacaan
tetapi tidak berniat menguras uang pengunjung (gratis). Tetapi, lihatlah kualitas dari kegiatan konsumtif itu.

Kita tidak bisa mengingkari bahwa banyak taman bacaan yang menyediakan buku-buku yang memang bermanfaat dalam pendidikan, tetapi kita juga tidak bisa mengingkari bahwa yang lebih banyak tersedia di taman-taman bacaan adalah bahan-bahan bacaan ringan
dan mengibur yang diniatkan sebagai pengisi waktu senggang, seperti komik (yang paling banyak adalah manga) dan fiksi ringan.

Tanpa bermaksud peyoratif, kita tahu sifat bahan-bahan bacaan ringan itu adalah melenakan dan mengajak orang sejenak beristirahat dari ketegangan pada waktu sibuk.
Pada tahap awal, kegemaran membaca memang bisa dimulai dari kegiatan membaca yang ringan-ringan, tetapi porsi bahan bacaan semacam ini jika terlalu banyak tentu
tidak baik, karena akan menjadi candu yang membuat orang lupa pada tugas-tugasnya. Hal ini sudah menunjukkan gejala dengan ramainya taman-taman bacaan.

Sedangkan perpustakaan, yang di negeri ini sebagian besar dikendalikan oleh negara, adalah sarana pelayanan publik yang merupakan bagian dari kewajiban negara kepada warganya. Motivasi utamanya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan
bahan-bahan bacaan yang diperlukan. Dengan demikian, perpustakaan adalah sebuah gerakan moral dan amanat, yang menuntut pertanggungjawaban kepada publik baik
secara legal-formal berdasarkan undang-undang maupun secara moral.

Kenapa pemerintah tidak mengalihkan energi dan sumber dayanya untuk melakukan kewajibannya dengan memberdayakan tempat yang sekarat dan kalah ramai dari taman bacaan itu?

Entah apa tujuan sebenarnya dari rencana salah sasaran itu. Yang jelas, rencana itu hanya menunjukkan bahwa pemerintah telah melupakan perpustakaan dan prinsip-prinsip yang membedakan perpustakaan dari taman bacaan. Entah disengaja atau tidak, dengan
rencana itu pemerintah tampak seperti sedang melarikan diri dari tanggung jawabannya kepada publik.

Alangkah lebih baiknya jika dana yang dianggarkan pemerintah dialokasikan untuk memberdayakan perpustakaan yang selama ini dimatikan oleh rutinitas, formalitas, dan state of being yang tidak mampu memikat pengunjung. Selain untuk reformasi budaya
perpustakaan seperti diimpikan oleh Zen Rachmat Sugito dalam "Andaikata Saya Kepala Perpustakaan" dalam rubrik ini (JP, 8/7/2007), dana yang direncanakan itu tentu akan sangat bermanfaat dalam reformasi organisasional dan pelayanan publik di perpustakaan.

* Dimuat di Harian Jawa Pos Edisi 29 Juli 2007